• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap 35

1 PENDAHULUAN

2.5   Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap 35

Menurut lokasi kegiatannya, perikanan tangkap di Indonesia dikelompokan dalam 3 kelompok yaitu: 1) perikanan lepas pantai (offshore Fisheries); 2) perikanan pantai (Coastal Fisheries); dan 3) perikanan darat (Inland Fisheries). Kegiatan perikanan pantai dan perikanan darat sangat erat kaitannya dengan pengelolaan lingkungan pesisir (Satria 2002).

Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari 1989). Dahuri (2003) mengemukakan bahwa pengembangan usaha perikanan haruslah dtinjau melalui bio-tecnico-socio-economic-approach. Oleh karena itu ada empat

persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu jenis alat penangkapan ikan untuk dikembangkan yaitu; 1) bila ditinjau dari aspek biologi, pengoperasian alat tangkap tersebut tidak mengganggu atau merusak kelestarian sumber daya perikanan, 2) secara teknis, efektif untuk dioperasikan, 3) ditinjau dari aspek sosial dapat diterima masyarakat nelayan, 4) secara ekonomi, usaha tersebut bersifat menguntungkan dan selain itu harus ada izin dari pemerintah. Keempat syarat tersebut tidak mutlak diharuskan, melainkan dipertimbangkan sesuai kepentingan.

Pembangunan perikanan berkaitan erat dengan proses pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya dana yang tersedia. Berdasarkan sifat sumber daya alamnya, pengembangan usaha perikanan tangkap sangat tergantung pada ketersediaan sumber daya perikanan di suatu perairan. Fluktuasi kegiatan usaha perikanan pada akhirnya mempengaruhi nelayan yang beroperasi di sekitar tersebut (Syafrin 1993).

Mengingat tujuan utama pengembangan perikanan tangkap yaitu pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan, maka sejumlah aspek yang berkaitan dengan nelayan mendapat banyak perhatian, salah satu di antaranya ialah mengembangan perikanan tangkap untuk menciptakan lapangan kerja (Monintja 2000). Teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis perikanan tangkap yang dapat menyerap tenaga kerja relatif banyak, disertai dengan pendapatan nelayan yang memadai.

Pengembangan sentra perikanan harus diawali dengan perbaikan sarana perikanan utama pelabuhan perikanan, Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), serta fasilitas paska panen lainnya, sedangkan kebijaksanaan operasional pengembangan produksi perikanan laut diterapkan juga pada perluasan dan pemanfaatan sumber daya perikanan laut di wilayah pengembangan (Direktorat Publikasi Ditjen Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan RI 1999).

Menurut Monintja et al. (2006), perlu adanya pertimbangan dalam pemilihan suatu teknologi yang tepat untuk diterapkan di dalam pengembangan perikanan. Pertimbangan-pertimbangan yang akan digunakan dalam pemilihan teknologi dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan, teknologi penangkapan ikan secara teknis,

ekonomis, rute dan pemasaran menguntungkan serta kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan.

Suatu kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan memiliki ciri- ciri sebagai berikut:

1) Selektivitas tinggi artinya, teknologi yang digunakan mampu

meminimalkan hasil tangkapan yang bukan merupakan target.

2) Tidak destruktif terhadap habitat yang akan membahayakan kelestarian produksi ikan.

3) Tidak membahayakan nelayan yang mengoperasikan dengan

menggunakan teknologi tersebut.

4) Menghasilkan ikan bermutu baik dan tidak membahayakan kesehatan

konsumen.

5) Hasil tangkapan yang terbuang (discards) sangat minim.

6) Berdampak minimum terhadap keanekaragaman sumber daya hayati, tidak menangkap spesies yang dilindungi atau terancam punah.

7) Dapat diterima, secara sosial, artinya di masyarakat nelayan tidak menimbulkan konflik.

Kriteria untuk kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan adalah: 1) Menerapkan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan.

2) Jumlah hasil tangkapan yang tidak melebihi jumlah tangkapan yang

diperbolehkan.

3) Menguntungkan.

4) Investasi rendah.

5) Penggunaan bahan bakar minyak rendah.

6) Memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Simbolon et al. (2009) menyatakan bahwa keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan sangat ditentukan oleh berbagai faktor antara lain: 1) nelayan yang mengoperasikan alat tangkap; 2) alat penangkap ikan; 3) kapal ikan dan perlengkapannya; 4) metode penangkapan ikan; 5) tingkah laku ikan; dan 6) daerah penangkapan ikan.

Bahari (1989) mengungkapkan bahwa pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di

bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik.

Status sumber daya perikanan laut dunia pada tahun 2004 menurut Garcia

et al. (2002) yang diacu dalam Monintja et al. (2006), telah menunjukkan kondisi yang memprihatinkan, karena 52% dari stok ikan dunia telah fully exploited, sekitar 17% telah mengalami over exploted dan 7% telah dinyatakan berada dalam status depletation. Disebutkan pula beberapa kecenderungan, bahwa:

1) Stok yang dimanfaatkan pada tingkat MSY telah menurun sejak tahun

1974, namun cenderung naik lagi setelah tahun 1995.

2) Peluang pengembangan pemanfaatan telah menurun dari 40% pada tahun 1974, menjadi 24% pada tahun 2004.

3) Proporsi stok ikan yang mengalami over exploited telah meningkat dari 10% pada tahun 1974 menjadi 25% pada tahun 2000-an walaupun agak stabil pada tahun-tahun terakhir.

4) Pemulihan stok (stock recover) tercatat sebesar 1% pada tahun 2004.

Seluruh masyarakat perikanan dunia sebaiknya berfikir dan bertindak secara lebih obyektif untuk segera meningkatkan kegiatan pengelolaan perikanan, guna menjamin keberlangsungan usaha penangkapan ikan dalam memenuhi kebutuhan umat manusia terhadap protein ikan. Salah satu penyebab lambatnya pemulihan stok ikan adalah karena terlambatnya implementasi pengeloaan perikanan dan bahkan sebelum adanya rencana pengelolaan yang dirancang secara terpadu dan konseptual.

Dengan luasnya wilayah yang menjadi dasar evaluasi FAO maka dapat diduga bahwa gejala dan fakta global tidak selalu terjadi dalam lingkup yang lebih kecil. Khususnya, apa yang terjadi dengan perikanan Indonesia.

Setidaknya ada tiga hal yang membuktikan bahwa gejala dan fakta perikanan di dunia ini belum atau tidak terjadi dengan perikanan Indonesia. Pertama, berdasarkan analisis ilmiah oleh tim ahli dari berbagai instansi pemerintah dan universitas, diperoleh bahwa potensi lestari sumber daya perikanan laut Indonesia sekitar 6,4 juta ton per tahun. Ini berarti sekitar 6,4 juta ton ikan dapat diambil setiap tahun dari perairan laut Indonesia tanpa gangguan stabilitas dan kontinuitas bioekologi sumber daya. Namun baru sekitar 72%

potensi ini dimanfaatkan. Artinya bahwa masih besar peluang pengembangan bisnis industri ini. Kedua, kenyataan bahwa perairan Indonesia merupakan arena perburuan ikan oleh nelayan asing yang secara ilegal namun terkoordinir masuk dan menguras sumber daya ikan Indonesia. Fakta ini memberi indikasi bahwa sumber daya ikan di negara mereka memang sudah terkuras habis tetapi sebaliknya masih tersedia di perairan Indonesia. Ketersediaan itu menjadi daya tarik penangkapan ikan secara ilegal yang penuh dengan resiko. Ketiga, semaraknya pembangunan perikanan di daerah, utamanya di kabupaten dan kota pesisir. Kesemarakan pembangunan ini dilihat dari dijadikannya usaha perikanan sebagai usaha basis pemberdayaan ekonomi masyarakat serta peningkatan kontribusi pendapatan daerah dari sektor perikanan. Ini hanya bisa terjadi karena sumber daya ikan di perairan dekat pantai (inshore waters) masih cukup tersedia (Nikijuluw 2005).