• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Usaha Perikanan Tangkap 23

1 PENDAHULUAN

2.3   Pengelolaan Usaha Perikanan Tangkap 23

Manajemen sumber daya perikanan mencakup penataan pemanfaatan sumber daya ikan, pengelolaan lingkungan, serta pengelolaan kegiatan manusia (Nikijiluw 2002).

Perikanan tangkap merupakan suatu kegiatan ekonomi dalam memanfaatkan sumber daya alam khususnya kegiatan penangkapan dan pengumpulan berbagai jenis biota yang ada di lingkungan perairan (Diniah 2009).

Dalam peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: Per 05/MEN/2008 Tentang Usaha Perikanan Tangkap, ditulis bahwa Usaha Perikanan adalah usaha yang dilaksanakan dengan sistem bisnis perikanan yang meliputi reproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran, sedangkan Usaha Perikanan Tangkap adalah usaha perikanan yang berbasis pada kegiatan penangkapan ikan (JICA 2009).

Perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi dalam bidang menangkap meliputi pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Definisi tersebut secara jelas menunjukkan bahwa kegiatan menangkap ikan yang dimaksud adalah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan baik secara finansial, maupun untuk memperoleh nilai tambah lainnya, seperti penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan terhadap protein hewan, devisa serta pendapatan negara (Monintja 1994).

Perikanan tangkap skala kecil di Indonesia adalah kontributor terbesar terhadap produksi perikanan. Bahkan sekitar 85% tenaga yang bergerak di sektor perikanan merupakan nelayan tradisional dan sangat jauh tertinggal dari nelayan negara lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa salah satu titik strategis dari penyebab utama kemiskinan dan ketidak-berdayaan nelayan adalah lemahnya kemampuan manajemen usaha (Widiyanto et al. 2002).

Usaha perikanan menurut Direktorat Jenderal Perikanan (Syafrin 1993), adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau

membudidayakan ikan termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial atau mendapatkan laba dari kegiatan yang dilakukan, sedangkan perikanan laut sebagai salah satu sub-sektor dari usaha perikanan terbagi pula menjadi 2 aspek, yaitu: 1) penangkapan di laut, adalah semua kegiatan penangkapan yang dilakukan di laut dan muara-muara sungai, laguna dan sebagainya yang dipengaruhi pasang surut. Pada umumnya desa perikanan laut terletak di sekitar muara sungai, laguna dan lain-lain. Dalam hal demikian semua kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan dari perikanan laut dinyatakan sebagai penangkapan di laut dan 2) budidaya di laut adalah semua kegiatan memelihara yang dilakukan di laut atau di perairan antara lain terletak di muara sungai dan laguna.

Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), telah mengamanatkan kepada negara-negara di dunia untuk melakukan pemanfaatan sumber daya perikanan secara bertanggung jawab. Prinsip-prinsip dalam pengelolaan meliputi: 1) pelaksanaan hak menangkap ikan disertai upaya konservasi; 2) pengelolaan berasaskan pada mempertahankan kualitas sumber daya, keanekaragaman hayati dan berkelanjutan; 3) pengembangan armada sesuai kemampuan reproduksi sumber daya; 4) perumusan kebijakan perikanan berdasarkan bukti ilmiah; 5) pengelolaan berdasarkan pada prinsip kehati-hatian; 6) pengembangan alat penangkapan yang selektif dan aman terhadap sumber daya; 7) mempertahankan nilai kandungan nutrisi ikan pada keseluruhan proses produksi; 8) perlindungan dan rehabilitasi terhadap habitat sumber-sumber perikanan kritis; 9) pengintegrasian pengelolaan sumber-sumber perikanan kedalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir; serta 10) penegakan hukum melalui penerapan

monitoring, controlling and survilliance (MCS) (Manggabarani 2006), pada sisi lain Gulland (1977) mengajukan enam pendekatan dalam pengelolaan perikanan: 1) pembatasan alat tangkap; 2) penutupan daerah penangkapan ikan; 3) penutupan musim penangkapan; 4) pemberlakuan kuota penangkapan; 5) pembatasan ukuran ikan yang boleh ditangkap; dan 6) penetapan jumlah kapal serta jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan untuk setiap kapal.

Pengelolaan penangkapan ikan meliputi; kontrol alat tangkap, aktifitas penangkapan, lokasi, musim dan kontrol nelayan. Menurut Welcomme (2003),

beberapa tujuan pengelolaan antara lain; eksploitasi untuk pangan atau keperluan rekreasi; tujuan sosial seperti pendapatan, distribusi pendapatan, mengurangi konflik sosial; tujuan fiskal seperti penerimaan export; dan tujuan koservasi seperti keberlanjutan dan keanekaragaman.

Menurut Koeshendrajana dan Hoggart (1998), pengaturan dalam pengelolaan perikanan dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe yaitu tipe teknis dan tipe akses. Termasuk tipe akses adalah pelelangan (di Sumatera Selatan dan Jambi) dan undian (di Kalimantan Barat). Tipe teknis meliputi penutupan wilayah, penutupan musim dan pembatasan alat tangkap.

Menurut Hoggart et al. (1999), keuntungan pembatasan akses adalah: meningkatkan keuntungan nelayan, efisiensi eksploitasi, mengurangi konflik nelayan dan kemudahan mengumpulkan uang dari nelayan yang mendapat akses. Kerugiannya adalah tidak adil bagi yang ditolak aksesnya, terutama bila tidak ada alternatif profesi lain. Bentuk kelembagaan pengelolaan perikanan rawa lebak di Kalimantan Barat terutama dilakukan dengan penerapan aturan pembatasan penangkapan dan kontrol aturan yang disertai sanksi adat. Pembatasan penangkapan meliputi pembatasan jenis alat tangkap, pembatasan penangkapan oleh masyarakat di luar desa, pembatasan penangkapan dengan sistem lelang dan pembatasan ukuran ikan tertentu yang boleh ditangkap. Sanksi pelanggaran aturan meliputi denda adat, masyarakat luar yang melanggar tidak boleh menangkap lagi, atau sanksi dimusyawarahkan dulu oleh masyarakat nelayan (Koeshendrajana dan Samuel 1999).

Selanjutnya, dalam kaitannya dengan penyediaan protein untuk masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas unit serta produktivitas nelayan pertahun yang tinggi, namun masih dapat dipertanggung jawabkan secara biologis dan ekonomis. Pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan umum perikanan, apabila hal ini dapat disepakati, maka syarat-syarat pengembangan teknologi penangkapan ikan Indonesia haruslah dapat:

1) Menyediakan kesempatan kerja yang banyak.

3) Menjamin jumlah produksi yang tinggi untuk menyediakan protein.

4) Mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa

diekspor.

5) Tidak merusak kelestarian sumber daya ikan.

Penerapan teknologi baru tidak begitu mudah karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1) para nelayan kadang-kadang lambat dalam mengadopsi teknologi baru karena mereka segan untuk mengambil resiko dengan modal yang sangat terbatas, 2) para nelayan berperilaku tetap pada cara-cara yang lama (subsistence) dalam lingkungan ekonomi tertentu karena mereka sangat mempertimbangkan adanya resiko dan ketidakpastian (risk and uncertainity) dan 3) para nelayan yang subsistance-minded ini beranggapan bahwa keuntungan yang akan mereka peroleh dari pengguna teknologi baru kenyataannya akan lebih rendah dan dalam usaha peningkatan produksi dapat memakan waktu yang lama.

Peningkatan pendapatan nelayan selain ditentukan oleh usaha-usaha peningkatan produksi, juga ditentukan oleh faktor-faktor lain seperti harga dan lembaga tataniaga. Makin banyak lembaga tataniaga yang terlibat dalam penyaluran sesuatu barang, maka makin rendah tingkat harga yang diterima oleh produsen (Paul dan Jones 1993 diacu dalam Ihsan 2000).

Pentingnya pengelolaan sumber daya perikanan menurut FAO (1997), karena beberapa hal, yaitu: pihak yang terlibat dalam pengelolaan perikanan adalah pemerintah, nelayan dan stakeholders lain yang terkait. Adapun manfaat pengelolaan adalah untuk menjamin agar sektor perikanan dapat memberikan manfaat yang optimal bagi para stakeholders baik generasi sekarang maupun yang akan datang, serta terciptanya perikanan yang bertanggung jawab.

Menurut Nikijuluw (2002), sumber daya perikanan harus dikelola dengan baik, karena sumber daya perikanan sangat sensitif terhadap tindakan manusia. Pendekatan apapun yang dilakukan manusia memanfaatkan sumber daya, jika pemanfaatan dilakukan secara berlebihan, pada akhirnya sumber daya akan mengalami tekanan secara ekologi dan akan menurun kualitasnya. Pengelolaan sumber daya perikanan patut dilakukan supaya pembangunan perikanan dapat dilaksanakan dengan baik dan tujuan pembangunan dapat tercapai. Sumber daya perikanan terdiri atas sumber daya ikan, sumber daya lingkungan, serta segala

sumber daya buatan manusia yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya perikanan mencakup penataan pemanfatan sumber daya ikan, pengelolaan lingkungannya, serta pengelolaan kegiatan manusia. Secara lebih ekstrim dapat dikatakan, manajemen sumber daya perikanan adalah manajemen kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumber daya.

Pengelolaan sumber daya perikanan pada dasarnya bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya bagi pencapaian sasaran-sasaran pembangunan perikanan yang berlanjut, secara sistematis dan berencana, berupaya mencegah terjadinya eksploitasi sumber daya secara berlebihan serta sekaligus berupaya menghambat menurunnya mutu dan rusaknya habitat/ekosistem penting akibat ulah manusia. Eksploitasi lebih dan rusaknya habitat penting pada gilirannya dapat menurunkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, yang dapat menjurus pada kemiskinan (Cholik dan Budihardjo 1993).

Undang-undang No. 45 tahun 2009 tentang perikanan menyebutkan bahwa tujuan pengelolaan sumber daya ikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan dan sekaligus untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Hasil tangkapan nelayan akan sangat tergantung pada tingkat upaya penangkapan dan besarnya populasi atau persediaan ikan. Dalam hal ini ada dua pengertian upaya penangkapan, yaitu: 1) upaya penangkapan nominal dan 2) upaya penangkapan efektif. Upaya penangkapan nominal diukur berdasarkan jumlah nominalnya, antara lain dengan satuan jumlah kapal, alat tangkap maupun trip penangkapan yang distandarisasikan dengan satuan baku. Sementara itu upaya penangkapan efektif diukur berdasarkan besarnya dampak yang ditimbulkan terhadap kelimpahan persediaan ikan atau laju kematian karena kegiatan penangkapan (Purwanto 1990).

Pengelolaan sumber daya perikanan didasari atas pemahaman yang luas dan mendalam akan semua proses dan interaksi yang berlangsung di alam, potensi yang terkandung, serta kemungkinan kerusakan. Dengan demikian pengelolaan sumber daya mencakup penetapan langkah-langkah dan kegiatan yang harus dilakukan guna mengantisipasi dan mengatasi masalah maupun menangani isu-isu yang berkembang, dalam wujud program pengelolaan (FAO 1997).

Pengertian pengelolaan perikanan dalam Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang perikanan (Monintja et al. 2006) didefinisikan sebagai berikut: Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan-peraturan perundang- undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan perikanan akan mencakup kebutuhan terhadap berbagai informasi yang mempengaruhi hasil dan proses produksi perikanan, yakni faktor fisik dan lingkungan perairan, biologi lingkungan, biologi ikan, sosial ekonomi, serta teknologi dan usaha perikanan.

Pada Pasal 2 undang-undang No. 31 tahun 2004 tersebut, disebutkan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan, sedangkan pengelolaan perikanan wajib dilaksanakan dengan tujuan:

1) Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. 2) Meningkatkan penerimaan dan devisa negara.

3) Mendorong perluasan dan kesempatan kerja.

4) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan. 5) Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan.

6) Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing.

7) Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengelolaan ikan. 8) Mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan

lingkungan sumber daya ikan secara optimal; dan

9) Menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang.

Pengelolaan usaha perikanan tangkap merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh para nelayan dalam memperoleh pendapatan. Pada umumnya, pelaksanaan pengelolaan usaha perikanan tangkap tersebut dilakukan tidak langsung ditujukan pada ikannya, tetapi lebih cenderung pada usaha pengaturan aktivitas penangkapan dan perbaikan kondisi lingkungan (Rounsefel 1973).

Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. Per 05/MEN/2008 Tentang Usaha Perikanan Tangkap, ditulis bahwa penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal atau memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau mengawetkannya (JICA 2009).

Kesulitan yang dihadapi para nelayan dalam pengelolaan usaha perikanan tangkap, antara lain disebabkan oleh adanya karakteristik yang spesifik dari sumber daya perikanan, yakni: 1) faunanya bersifat liar dan pada dasarnya jumlahnya terbatas; 2) faunanya bebas bergerak dan tidak terlihat secara langsung; 3) pada daerah tropis, ikannya terdiri dari bermacam-macam spesies sehingga alat tangkap yang digunakan juga bermacam-macam; dan 4) sumber daya bersifat terbuka untuk dimanfaatkan. Pengelolaan perikanan secara operasional ditujukan untuk mencapai hasil tangkapan maksimal yang berimbang lestari (MSY), hasil produksi yang secara ekonomi memberikan keuntungan maksimum yang lestari (MEY) dan kondisi sosial yang optimal misalnya memaksimumkan tenaga kerja dan mengurangi pertentangan yang terjadi di antara nelayan (Gulland 1997).