• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Kemiskinan Nelayan 52

1 PENDAHULUAN

2.10 Karakteristik Kemiskinan Nelayan 52

Tingkat sosial ekonomi yang rendah merupakan ciri umum kehidupan nelayan dimanapun berada. Nelayan kecil atau nelayan tradisional dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang miskin.

Perangkap kemiskinan yang melanda kehidupan nelayan disebabkan oleh suatu karakteristik yang kompleks. Gambaran umum yang pertama kali bisa dilihat dari kondisi kemiskinan masyarakat nelayan adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasikan dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah yang sangat sederhana, berdinding anyaman bambu, berlantaikan tanah berpasir, beratap daun rumbia dan keterbatasan pemilikan perabotan rumah tangga adalah tempat tinggal para nelayan tradisional.

Selain gambaran fisik di atas, untuk mengidentifikasikan kehidupan nelayan tradisional yang miskin dapat dilihat dari tingkat pendidikan dari anak- anak nelayan, pola konsumsi sehari-hari dan tingkat pendapatan. Nelayan yang umumnya rendah pendidikan dan pengetahuan ini hanya memikirkan tentang kebutuhan hari ini dan cara memenuhinya, biasanya mereka tidak memikirkan tentang hari esok, padahal hari esok memiliki memiliki masalah dan kesusahan

tersendiri. Oleh karena hanya memikirkan hari ini, bagi mereka kerusakan sumber daya bukan menjadi tanggung jawabnya (Nikijuluw 2008).

Dikarenakan tingkat pendapatan nelayan tradisional yang begitu rendah maka sangat masuk akal apabila tingkat pendidikan anak-anaknya juga rendah dan ini dikarenakan oleh faktor biaya. Banyak anak yang harus berhenti sebelum lulus Sekolah Dasar atau kalaupun lulus ia tidak akan melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Pertama. Selain itu, kebutuhan pangan merupakan kebutuhan hidup yang paling mendasar atau kebutuhan primer bagi rumah tangga nelayan tradisional karena merupakan prasyarat utama agar rumah tangga nelayan tersebut dapat bertahan walaupun keadaan keuangan sangat terbatas. Kebutuhan yang lain yaitu kelayakan perumahan, sandang yang dijadikan sebagai kebutuhan sekunder (Kusnadi 2002).

Secara sosial, kemiskinan terjadi karena manusia terperangkap dalam lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Secara ekonomi, kemiskinan terjadi karena keserakahan (greedy). Ingin cepat kaya, manusia berfikir instan, eksploitasi sumber daya alam pesisir secara besar-besaran. Terjadilah kelebihan investasi, kelebihan kapital, ketidak-efisienan, penurunan produktivitas, kerusakan lingkungan, penurunan (penipisan) sumber daya alam dan pada akhirnya kemiskinan. Hubungan kausalitas antara kemiskinan dan kerusakan lingkungan pun tercipta. Miskin membuat lingkungan rusak dan sebaliknya lingkungan rusak mengakibatkan kemiskinan (Nikijuluw 2005).

Kemiskinan yang merupakan indikator ketidakberdayaan masyarakat nelayan disebabkan oleh tiga hal utama yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan super-struktural dan kemiskinan kultural. Berbagai faktor yang menjadi penyebab kemiskinan sangat kompleks dan seringkali berhubungan satu sama lain. Faktor- faktor tersebut adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), penguasaan teknologi dan keahlian lain, pemilikan modal, produktivitas, nilai tukar hasil produksi dan pada gilirannya menyebabkan rendahnya pendapatan dan faktor-faktor yang berkaitan dengan lemahnya peranan lembaga-lembaga masyarakat, akses pada fasilitas dan hasil pembangunan disertai dengan kesenjangan antara yang kaya dan miskin (Nikijuluw 2001).

Dalam kehidupan nelayan banyak faktor yang menyebabkan mereka miskin. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan kedalam faktor alamiah dan non-alamiah. Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi musim-musim penangkapan dan struktur alamiah sumber daya ekonomi desa. Faktor non- alamiah berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran dan belum berfungsinya koperasi nelayan yang ada, serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini. Selain itu juga salah satu penyebab miskinnya nelayan yaitu masih banyak yang mempergunakan alat tangkap atau jaring yang sederhana. Karena masih mempergunakan alat tangkap tersebut sehingga jarak daerah penangkapan dari nelayan tradisional hanya beberapa kilometer saja dari pantai dan hal ini menyebabkan rata-rata hasil tangkapan nelayan per kapita relatif sedikit dan pada saat dijual tidak banyak memperoleh uang yang cukup untuk menunjang kehidupan yang layak.

Pada saat ini, armada perikanan tangkap didominasi armada tradisional, mencakup: perahu tanpa motor (50,1%), motor tempel (26, 2%) dan kapal motor kurang dari lima gross ton (GT) sebanyak 16, 4%, jadi totalnya 92,7%. Jumlah armada tersebut tidak otomatis menggambarkan jumlah nelayan, karena setiap kategori armada terdiri dari jumlah nelayan yang berbeda. Diperkirakan jumlah nelayan di bawah lima GT sebanyak 1,3 juta orang atau 66,8%. Sulit untuk mengatakan bahwa nelayan di bawah lima GT pasti miskin atau di atas lima GT pasti tidak miskin. Nelayan perahu tempel menangkap ikan kerapu tentu hasilnya relatif lebih baik dari seorang ABK biasa yang ikut di kapal 50–100 GT selama 40 hari. Jadi alat tangkap belum bisa menjadi indikator kemiskinan (Satria 2009). Di samping sebab-sebab di atas, yang juga memberi kontribusi terhadap akselerasi kemiskinan di kalangan nelayan adalah dampak negatif dari kebijakan motorisasi perahu dan modernisasi peralatan tangkap yang populer disebut dengan istilah “Revolusi Biru” (Blue Revolution). Kebijakan ini telah mendorong timbulnya tingkat pendapatan nelayan tradisional menurun. Kesenjangan sosial ekonomi di kalangan masyarakat nelayan semakin melebar dan kemiskinan menjadi tidak terhindarkan. Bagi nelayan modern, munculnya modernisasi perikanan telah

menjadikan berkah tersendiri sedang bagi nelayan tradisional tampaknya harus membayar mahal harga sebuah kemajuan teknologi. Dalam arti mereka tidak bisa menikmati kemudahan dan sumbangan kemajuan.

Hal ini disebabkan tingkat pendidikan nelayan tradisional yang relatif rendah sehingga tidak mampu menerima modernisasi dalam usaha meningkatkan teknologi untuk mengefisienkan kegiatan ekonomi mereka. Dengan demikian sebenarnya keadaan sosial ekonomi masyarakat nelayan tradisional boleh dikatakan belum menginginkan adanya keterlibatan mereka dalam kancah pembangunan, terutama pembangunan dengan menggunakan padat modal dan yang mempergunakan teknologi maju. Nelayan tradisional tampak merupakan korban dari keterbelakangan dan kemiskinan. Keadaan tersebut sudah barang tentu menjadi suatu mata rantai yang tidak ada putusnya. Oleh karena itu hasilnya pun sementara ini akan terus berputar di sekitar itu.

Hampir sebagian besar nelayan kita masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan kurang dari USUS$ 10/kapita/bulan. Jika dilihat dalam kontes millenium develpment goal, pendapatan sebesar itu sudah termasuk dalam extreme poverty, karena lebih kecil dari USUS$ 1 per hari (Satria 2002).

Berkaitan dengan masalah kemiskinan, maka pada umunya masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir sering identik dengan kemiskinan. Sejak tahun 1980 sejumlah penelitian tentang kehidupan sosial ekonomi rumah tangga nelayan telah dilakukan di desa pesisir Sulawesi Utara. Hasilnya menunjukkan bahwa rumah tangga nelayan yang profesinya semata-mata tergantung pada usaha menangkap ikan atau nelayan penuh memperoleh pendapatan hanya untuk membeli konsumsi minimum. Sedikit jika ada uang yang tersisa, itu untuk biaya sekolah anak dan membeli pakaian dan memperbaiki tempat tinggalnya. Meskipun hanya berdasarkan indikator sederhana ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa mereka masih dikungkung oleh masalah kemiskinan. Kemiskinan ini juga pada umumnya dialami oleh sebagian besar masyarakat pesisir di Indonesia. Temuan studi pada berbagai komunitas nelayan di luar negri menunjukkan bahwa organisasi sosial ekonomi maupun lembaga tekait lainnya yang ada di desa pesisir memegang peranan penting dalam perbaikan taraf hidup masyarakat pesisir. Dengan kata lain bahwa organisasi sosial ekonomi bisa jadi

Produktivitas  Rendah Pendapatan  Riil Rendah Tabungan  Rendah Investasi  Rendah Kekurangan Modal

penunjang dalam upaya peningkatan taraf hidup masyarakat pesisir. Tanpa organisasi sosial ekonomi nelayan akan bekerja dan hidup sendirian tanpa ada yang memperjuangkan dan melindungi kepentingan mereka (Mantjoro 1988).

Ada satu pandangan yang menyatakan bahwa suatu masyarakat sangat sulit untuk keluar dari kemiskinan apabila tanpa ada uluran tangan dari pihak lain. Ini terjadi karena mereka sudah terjebak dalam suatu lingkaran, yang hanya bisa diterobos melalui bantuan pihak lain. Hal ini terjadi juga pada masyarakat nelayan. Walaupun sebagian dari mereka tidak bisa dikatakan miskin, namun untuk bisa meningkat lebih baik lagi tidak mungkin dilakukan tanpa ada peraturan pemerintah yang mendukungnya, ataupun campur tangan langsung dari pihak luar (Wahyono 2001).

Upaya mensejahterahkan nelayan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah. Pemerintah masih menganggap bahwa wilayah pesisir nusantara adalah halaman belakang. Dengan pengertian belum adanya political will pemerintah untuk permasalahan minimnya infrastruktur, berbelitnya prosedur atau peraturan yang ada dan lain sebagainya. Pola ini diperkuat dengan skema “Lingkaran Setan Kemiskinan” yang dikenalkan oleh Ragnar Nurkse, 1953 yang diacu Satria (2002) yang dapat dilihat pada Gambar 1:

Gambar 1 Lingkaran setan kemiskinan Ragnar Nurkse (1953) yang diacu dalam

(Satria 2002)

Berdasar bentuk lingkaran seperti pada Gambar 1 sukar ditentukan awal putaran dimulai. Jika berpegang pada teori ekonomi maka awal putaran dimulai

dari investasi. Dimulai dari investasi karena seseorang tidak perlu menabung lebih dahulu untuk mendapatkan modal uang. Modal tersebut bisa diperoleh dari pinjaman pada lembaga keuangan seperti bank atau koperasi (Mantjoro 1993).

Berdasarkan Gambar 1, dengan investasi (modal) yang rendah maka otomatis mengakibatkan kekurangan modal sehingga mengakibatkan produktivitas yang rendah dari nelayan. Dampak dari produktivitas yang rendah ini yaitu pendapatan rendah sehingga kemampuan untuk menabung juga rendah. Kemiskinan masyarakat nelayan adalah suatu simfoni yang terus bersenandung hampir seluruh kawasan Indonesia. Meskipun pembangunan negara ini sudah berlangsung selama 60 tahun, simfoni kemiskinan nelayan itu tetap bersaudara, bahkan cenderung semakin keras dan bergema. Nelayan memang sering dicap sebagai the poorest of the poor, alias kelompok termiskin di antara yang miskin. Mereka miskin ide, gagasan, serta tindakan dan aksi pendidikan, pengetahuan dan kemampuan usaha. Mereka tinggal ditengah lingkungan yang miskin sarana, prasarana,serta pranata sosial ekonomi yang seharusnya adalah prasyarat atau modal dasar bagi mereka untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk sosial ekonomi. Mereka hidup di antara sesama masyarakat yang juga miskin perhatian dan empati. Mereka dipimpin, dibina dan dinaungi oleh suatu sistem kepemerintahan yang juga miskin gagasan dan kebijakan yang berpihak bagi mereka. Jadilah masyarakat nelayan secara terstruktur hidup dalam kemiskinan. Kelemahan-kelemahan dari aspek lingkungan dan sumber daya alam, kelembagaan dan organisasi, pemerintahan, serta ekonomi dan pasar secara bersama menciptakan strukur yang membuat nelayan tinggal dan terbenam dalam kemiskinan, kalau tidak harus mengatakan bahwa struktur itu justru memiskinkan nelayan. Maka nelayan yang sudah miskin menjadi bertambah miskin, terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan (poverty vicious circle) yang tidak jelas ujung pangkalnya, yang saling terkait sebab-musababnya (Nikijuluw 2005).

Perspektif sosial ekonomi pembangunan kelautan nasional masa lalu menciptakan kesenjangan tingkat kemakmuran antara pelaku pembangunan perikanan tradisional dan pelaku skala besar. Sebagian besar nelayan (sekitar 70%) masih hidup di bawah garis kemiskinan, hanya sekitar 15% pelaku perikanan laut tergolong maju dan makmur (Dahuri 2001).

Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh manusia. Bagi mereka yang tergolong miskin, kemiskinan adalah sesuatu yang nyata dalam kehidupan mereka sehari-hari karena mereka merasakan dan menjalani sendiri bagaimana hidup dalam kemiskinan. Orang-orang yang termasuk ke dalam golongan miskin antara lain disebabkan oleh pendapatan, pendidikan serta ketrampilan yang rendah dan juga kepemilikan modal yang rendah pula. Kemiskinan antara lain ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang menerima keadaan seakan-akan tidak dapat diubah lagi, yang semuanya tercermin di dalam lemahnya kemampuan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia, rendahnya produktivitas, terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pendapatan dan terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan.

Apabila kondisi seperti yang telah diuraikan di atas tadi dilihat dari pola hubungan sebab-akibat, maka orang miskin adalah mereka yang serba kurang mampu dan terbelit di dalam lingkungan ketidakberdayaan. Rendahnya pendapatan mengakibatkan rendahnya pendidikan dan kesehatan sehingga mempengaruhi produktivitas. Orang miskin bukanlah orang yang tidak memiliki apapun melainkan orang yang mempunyai sesuatu walaupun hanya sedikit. Kondisi sosial ekonomi nelayan yang hidup di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan bervariasi. Nelayan di daerah perkotaan sudah memiliki sarana penangkapan ikan yang modern sedangkan nelayan di daerah pedesaan sarana penangkapan ikannya masih tradisional.

Dapat dilihat bahwa keberadaan kondisi kehidupan rumah tangga nelayan yang berada di desa nelayan sangatlah memprihatinkan, dimana rumah tangga nelayan tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti kebutuhan konsumsi untuk hidup secara layak, baik fisik maupun mental spiritual. Pada umumnya nelayan yang hidup di pedesaan memiliki taraf hidup yang masih rendah dan dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah sehingga mereka miskin dalam hal pengetahuan dan teknologi, alat penangkapan ikan yang masih tradisional, transportasi tidak lancar, kelembagaan ekonomi tidak ada dan kondisi alam yang tidak menunjang sehingga rumah tangga nelayan tetap berada pada garis kemiskinan. Dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, masyarakat nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional sederhana harus menuju ke tengah-

tengah lautan yang tidak terlepas dari benturan badai lautan sehingga belum tentu hasil yang dicapai bisa untuk menghidupi keluarganya, mengingat alat yang digunakan relatif sederhana walaupun kekayaan laut yang seharusnya dicapai masih melimpah (Anonim 1995).

Menurut Nikijuluw (2005), pembangunan yang berhasil diindikasikan dengan peningkatan produksi perikanan tangkap tetapi akhirnya kegiatan penangkapan harus dikendalikan karena over-capacity, over-investment dan over- fishing. Sumber daya ikan yang ada di perairan tertorial harus dikendalikan eksploitasinya karena peningkatan eksploitasi tidak akan secara signifikan meningkatkan produksi rata-rata, bahkan sebaliknya bisa menurunkan produksi. Tragedi milik bersama mulai menampakkan dirinya pada eksploitasi sumber daya ikan di perairan teritorial. Produksi rata-rata per nelayan sulit ditingkatkan dan akhirnya nelayan terperangkap oleh kemiskinan. Lalu bagaimana caranya Indonesia bisa mendapatkan tambahan produksi ikan? Bagaimana caranya agar nelayan bisa bekerja? Bagaimana masyarakat yang nenek moyangnya pelaut bisa mengaktualisasikan dirinya sebagai pelaut.

Bank Dunia memperhitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49% dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Kalangan tersebut hidup hanya kurang dari USUS$ 2 atau sekitar Rp 19.000,– per hari. BPS, dengan perhitungan yang agak berbeda dari Bank Dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia ‘hanya’ sebesar 34,96 juta orang (15,42%). Angka tersebut diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar USUS$ 1,55. Namun, terlepas dari perbedaan angka-angka tersebut, yang terpenting bagi kita adalah bukan memperdebatkan masalah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia, tapi bagaimana menemukan solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.

Banyak studi empiris yang menyoroti hal kemiskinan. Bailey et al. (1987)

yang diacu dalam Nikijuluw (2005) melakukan telaah komperhensif tentang perikanan Indonesia, tiba pada kesimpulan bahwa memang nelayan Indonesia secara umum tergolong miskin. Hasil studi Mubayarto dan Dove (1984) di Jepara, Jawa Tengah, mengelompokan nelayan ke dalam kelompok kaya dan kaya sekali disatu pihak serta kelompok ekonomi sedang, miskin dan miskin sekali dipihak

lain. Kelompok miskin umumnya berusia 40 tahun, mereka menilai diri mereka telah hilang kesempatan untuk memperbaiki status ekonomi keluarganya. Mereka sering mendramatisir kehidupan mereka dengan sukarnya penghidupan dan profesi mereka serta kecilnya pendapatan yang mereka peroleh. Mereka mengeluh bahwa pendapatan mereka hanya cukup atau bahkan kurang untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kusnadi (2002) dalam melakukan beberapa studi di Jawa Timur, khususnya di Madura, juga muncul dengan kesimpulan tentang kemiskinan nelayan, khususnya nelayan buruh. Kemiskinan tersebut bisa dilihat dengan cepat dari kondisi pemukiman nelayan.

Menurut Mulyadi (2005), kemiskinan nelayan terdiri atas kemiskinan prasarana dan kemiskinan keluarga. Kemiskinan prasarana dapat diindikasikan dengan ketidaktersediaan prasarana pedesaan untuk menghasilkan air bersih, pasar dan bahan bakar. Kemiskinan prasarana ini secara tidak langsung memiliki andil munculnya kemiskinan keluarga. Misalnya tidak tersedia air bersih memaksa keluarga nelayan mengeluarkan uang lebih untuk membeli air bersih.

BPS (2009) Sulawesi Utara mengatakan, penurunan tingkat kemiskinan lebih signifikan terjadi di daerah rural (pedesaan) yakni mencapai 0,91%

sebanyak 9,97 ribu orang, dibandingkan daerah perkotaan turun 0,39% (2,88 ribu orang). Penurunan angka kemiskinan pada tahun 2010 ini merupakan lanjutan dari

trend yang terjadi sejak tahun 2007, yang merupakan titik balik setelah terjadi peningkatan pada beberapa periode sebelumnya. Kendati terjadi penurunan penduduk miskin di desa, tetapi jumlah penduduk desa masih mendominasi penduduk miskin yakni mencapai 130.350 orang sedangkan di perkotaan 76.370 orang.

Tingkat kemiskinan di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan. Pada kehidupan nelayan tradisional, masalah kemiskinan seakan sudah menjadi warisan yang turun-temurun bagi kehidupan mereka. Rendahnya tingkat pendidikan nelayan beserta keluarganya menyebabkan mereka sukar untuk menerima teknologi baru di bidang penangkapan sehingga otomatis mereka selalu menggunakan alat tangkap yang masih tradisional. Selain itu juga produktivitas yang rendah dan modal yang kurang menyebabkan mereka selalu berada pada

keadaan yang ada dari nenek moyang mereka. Kondisi ini menyebabkan mereka terus menerus terperangkap ke dalam jeratan lingkaran setan kemiskinan. Kemiskinan yang telah melanda nelayan telah mempersulit mereka dalam membentuk kehidupan generasi berikutnya yang lebih baikdari keadaan mereka saat ini. Anak-anak mereka harus menerima kenyataan untuk mengenyam tingkat pendidikan yang rendah bahkan ada yang tidak pernah mendapatkan pendidikan formal dikarenakan ketidakmampuan ekonomi orang tua mereka. Dengan kondisi generasi yang demikian, maka anak-anak tersebut akan tetap mewarisi profesi dan tingkat kesejahteraan hidup seperti yang dialami oleh orang tuanya. Akibatnya, kualitas sumber daya manusia tetap rendah dan kemiskinan dikalangan nelayan akan diwariskan serta diabadikan dari generasi ke generasi.

Menurut Bank Dunia, seseorang dikatakan miskin apabila pengeluarannya di bawah US$ 2 per hari. Dikatakan miskin absolut bila pengeluaran di bawah US$ 1 per hari. Dengan demikian mereka digolongkan miskin apabila mereka membelanjakan US$ 60 per bulan. Miskin absolut jika membelanjakan US$ 30 per bulan. Berdasarkan indikator ini dan dengan pendapatan nelayan per kapita hanya sekitar US$15 per bulan, dengan tertinggi US$ 41 dan terendah US$ 4.5 per bulan, maka dapat disimpulkan bahwa umumnya nelayan Indonesia adalah miskin absolut. Apa yang menyebabkan nelayan miskin? Bukankah mereka menangkap ikan yang hidup liar? Bukankah setiap saat mereka dapat turun ke laut? Bukankah ikan masih menjadi menu utama keluarga Indonesia? Bukankah ikan masih merupakan komiditi ekspor yang dapat mendongkrak harga di tingkat nelayan? Semuanya ini memang benar tetapi bukan merupakan alasan utama kemiskinan atau kesejahteraan nelayan. Lalu apa alasan utama itu? Jawabannya

Malthusian Overfishing. Iclaram (1992) yang diacu Nikijuluw (2005) memperkenalkan gradasi overfishing kedalam 6 tahap yaitu: growth overfishing, recuiretment overfishing, biological overfishing, economic overfishing, ecosistem overfishing dan malthusian overfishing. Overfishing sendiri adalah jumlah upaya penangkapan yang besar dan berlebihan terhadap stok ikan.

Dunia yang percaya dan yang tidak percaya akan prediksi Malthus memang melihat perkembangan populasi yang begitu cepat, sementara disisi lain ilmu dan teknologi baru mendorong pertumbuhan produksi pangan. Gejela

pertumbuhan penduduk yang tidak sebanding dengan pertambahan jumlah pangan yang diproduksi ini jugalah terjadi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan. Sumber daya ikan yang tersedia terbatas jumlahnya, pertumbuhan alami sumber daya ikan tidak terlalu besar, sementara disisi lain jumlah nelayan bertambah dengan sangat cepat. Pertambahan jumlah nelayan ini terjadi karena tenaga kerja beralih dari sektor non-perikanan ke perikanan.

Bagi sebagian nelayan, bekerja di bidang perikanan adalah pilihan terakhir kegiatan ekonomi yang diharapkan dapat menghidupi diri mereka karena sudah tidak tersedia lagi kesempatan kerja di sektor lain. Akses menuju sektor perikanan yang terbuka membuat pengalihan tenaga kerja lancar dan tanpa halangan. Namun yang terjadi selanjutnya adalah terlalu banyak nelayan, sementara stok ikan tetap bahkan semakin sedikit jumlahnya karena lingkungan yang sudah rusak. Karena begitu banyak nelayan yang sudah ada sebelumnya dan yang baru masuk, berkompetisi secara bebas maka mereka cenderung menggunakan segala cara dan upaya guna memperoleh ikan. Dari sini munculah penggunaan alat-alat dan metode penangkapan ikan yang destruktif yang merusak sumber daya. Kompetisi membuat nelayan sering melanggar hukum dan aturan tentang batas wilayah penangkapan ikan.

Bagi kapal ukuran besar yang seharusnya tidak boleh menangkap ikan di perairan dekat pantai cenderung masuk ke perairan yang dilarang. Akhirnya timbul kompetisi yang tidak berimbang yang akhirnya melahirkan konflik yang diwarnai dengan isu pelanggaran hak penangkapan ikan oleh nelayan pendatang dari daerah lain atau daerah tetangga. Sehingga hasil tangkapan setiap nelayan semakin berkurang. Sebagai dampak akumulasinya adalah ikan yang dihasilkan pun adalah ikan yang tidak begitu tinggi harganya. Akhir dari semuanya, sangat kecilnya pendapatan, kemiskinan dan nelayan yang terperangkap dalam kemiskinan itu. Situasi ini dikenal dengan sebutan Malthuism Overfishing. Seseorang bisa menyalahkan sistem ekonomi yang dianut yang tidak memperhatikan orang kecil. Yang lain bisa mengatakan bahwa itu terjadi karena pemerintah yang tidak memberikan perhatian kepada orang kecil karena terlalu